“Aku maju sedikit, membunyikan lonceng sepeda, bertepuk tangan, berdeham-deham, membuat bunyi-bunyian agar dia merayap pergi. Tapi ia bergeming. Ukurannya dan teritip yang tumbuh di punggungnya memperlihatkan dia penguasa rawa ini. Dan sekarang saatnya mandi matahari. Secara fisik dan psikologis binatang atau secara apa pun, buaya ini akan menang. Ilmu tak berlaku di sini.
“Tapi lebih dari setengah perjalanan sudah, aku tak ‘kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini. Tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.”
Dua belas meter.
“Aku hanya sendirian. Jika ada orang lain aku berani lebih frontal. Tahukah hewan ini pentingnya pendidikan? Aku tak berani lebih dekat. Ia menganga dan bersuara rendah, suara dari perut yang menggetarkan seperti sendawa seekor singa atau seperti suara orang menggeser sebuah lemari yang sangat besar. Aku diam menunggu. Tak ada jalur alternatif dan kekuatan jelas tak berimbang. Aku mulai frustasi. Suasana sunyi senyap. Yang ada hanya aku, seekor buaya ganas yang egois, dan intaian maut.”
Kami prihatin dan tegang mendengar kisah perjuangan Lintang menuju sekolah.
“Tiba-tiba dari arah samping kudengar riak air. Aku terkejut dan takut. Menyeruak di antara lumut kumpai, membelah genangan setinggi dada, seorang laki-laki seram naik dari rawa. Ia berjalan menghampiriku, kakinya bengkok seperti huruf O,” lanjutnya.
“Siapa laki-laki itu Lintang?” tanya Sahara tercekat.
“Bodenga….”
“Ooh…,” kami serentak menutup mulut dengan tangan. Menakutkan sekali. Tak ada yang berani berkomentar. Tegang menunggu kelanjutan cerita Lintang.
“Aku lebih takut padanya daripada buaya mana pun. Pria ini tak mau dikenal orang tapi sepanjang pesisir Belitong Timur, siapa tak kenal dia?
“Dia melewatiku seperti aku tak ada dan dia melangkah tanpa ragu mendekati binatang buas itu. Dia menyentuhnya! Menepuk-nepuk lembut kulitnya sambil menggumamkan sesuatu. Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya laksana seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya, lalu mendadak sontak, dengan sebuah lompatan dahsyat seperti terbang reptil zaman Cretaceous2 itu terjun ke rawa menimbulkan suara laksana tujuh pohon kelapa tumbang sekaligus.
Lintang menarik napas.
“Aku terkesima dan tadi telah salah hitung. Jika binatang purba itu mengejarku maka orang-orang hanya akan menemukan sepeda reyot ini. Fisika sialan. Memprediksi perilaku hewan yang telah bertahan hidup jutaan tahun adalah tindakan bodoh nan sombong.
“Dari permukaan air yang bening jelas kulihat binatang itu menggoyangkan ekor panjangnya untuk mengambil tenaga dorong sehingga badannya yang hidrodinamis menghujam mengerikan ke dasar air.
“Bodenga berbalik ke arahku. Seperti selalu, ekspresinya dingin dan jelas tak menginginkan ucapan terima kasih. Kenyataannya aku tak berani menatapnya, nyaliku runtuh. Dengan sekali sentak ia bisa menenggelamkanku sekaligus sepeda ini ke dalam rawa. Aku mengenal reputasi laki-laki liar ini. Tapi aku merasa beruntung karena aku telah menjadi segelintir orang yang pernah secara langsung menyaksikan kehebatan ilmu buaya Bodenga.”
AKU termenung mendengar cerita Lintang. Aku memang tidak pernah menyaksikan langsung Bodenga beraksi tapi aku mengenal Bodenga lebih dari Lintang mengenalnya. Bagiku Bodenga adalah guru firasat dan semua hal yang berhubungan dengan perasaan gamang, pilu, dan sedih. Tak seorang pun ingin menjadi sahabat Bodenga. Wajahnya carut-marut, berusia empat puluhan. Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah pohon nifah selama dua hari dua malam. Jika lapar ia terjun ke sumur tua di kantor polisi lama, menyelam, menangkap belut yang terperangkap di bawah sana dan langsung memakannya ketika masih di dalam air.
Ia makhluk yang merdeka. Ia seperti angin. Ia bukan Melayu, bukan Tionghoa, dan bukan pula Sawang, bukan siapa-siapa. Tak ada yang tahu asal usulnya. Ia tak memiliki agama dan tak bisa bicara. Ia bukan pengemis bukan pula penjahat. Namanya tak terdaftar di kantor desa. Dan telinganya sudah tak bisa mendengar karena ia pernah menyelami dasar Sungai Lenggang untuk mengambil bijihbijih timah, demikian dalam hingga telinganya mengeluarkan darah, setelah itu menjadi tuli.