Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kan berani bercita-cita. Yang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karyawan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali. Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan!
Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia — dan penerbit buku tentu saja.
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat beruntung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhirnya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk merumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B-ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaitu TATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atau BULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul belakang buku itu. Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, "Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan." Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: "Sebuah buku yang memberi pencerahan."