"Awardee! Seseorang dari rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati padamu ...," kataku setiba di ramah kontrakanku. Ia merampas surat dari tanganku, membacanya sekilas, lalu meloncat-loncat gembira.
"Alhamdullilah, finally! Cicik (paman), kita akan berangkat ke Sungai Liat!"
Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter senior — profesor tepatnya — yang menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di sana. Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para ilmuwan, termasuk beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn diprioritaskan karena prestasi kuliahnya. Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu. Apa dayaku menolak, bukankah semuanya memang untuk mendukung dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga Pulau Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset. Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong menyebutnya Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada rumah sakit jiwa — bahkan sampai sekarang — maka orang Belitong yang mentalnya sakit parah sering dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa ini. Karena itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu memberi kesan sesuatu yang mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa.
SORE itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris. Beberapa jambangan bunga model lama — gaya Belanda — bederetderet di sepanjang selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda dengan rumah sakit jiwa lainnya Pintu-pintu besi dengan gembok besar, kamar obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat yang berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri atau memandang aneh. Terdengar lamat-lamat suara cekikikan dan teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan para perawat di halaman rumah sakit yang luas.
Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu jeruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi sebuah ruangan panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menampung beberapa pasien. Mereka mengikuti gerak-gerik kami dengan teliti. Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan matanya penuh tekanan, kesedihan, dan beban. Beberapa di antaranya bersimpuh di lantai atau mengguncang-guncang jerejak besi di jendela.
Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan jeruji besi. Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak sendiri berselang-seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang kaki manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama kukenal. Kesedihan rumah sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di kepalaku tempat Bodenga bersembunyi.
Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu besi dua lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan berupa lorong yang panjang. Sisi kiri kanan lorong adalah kamar-kamar perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar kosong dengan pintu terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dari balik pintu-pintu tertutup itu.
Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian ruangan. Seorang pria berusia enam puluhan mendekati kami. Beliau tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal wajah yang sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji tasbih, beliau mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku sangat segan, seorang intelektual yang rendah hati sekaligus yang taat beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan sangat santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami. Namanya Profesor Yan.
"Ini kasus mother complex yang sangat ekstrem ...," kata profesor itu dengan suara berat, itu seakan ikut merasakan penderitaan pasiennya.
"Tiga puluh delapan tahun di bidang ini baru kali ini aku menjumpai hal semacam ini. Anak muda ini sedikit pun tak bisa lepas dari ibunya. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia menjerit-jerit histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya sendiri sekarang hampir terganggu jiwanya. Mereka telah menghuni tempat ini hampir selama enam tahun ...."