Aku tersentak miris mendengar penjelasan beliau. Eryn sendiri terperanjat. Ia berusaha menguatkan diri mendengar kenyataan yang menghancurkan hati itu. Aku menatap wajah Profesor Yan. Ia adalah dokter jiwa yang amat berpengalaman tapi jelas ia prihatin dan terpengaruh dengan kasus ini. Di sisi lain aku kagum pada psikologi dan orangorang yang mendedikasikan hidupnya pada bidang ini. Penjelasan Profesor Yan melekat dalam pikiranku. Aku merinding karena merasa getir pada nasib anak beranak itu. Anak muda yang malang. Ibunya yang tadinya sehat terpaksa hidup tidak normal. Orangtua mana yang mampu menolak kasih sayang anaknya, meskipun rasa sayang itu berlebihan? Mungkin ia lebih rela gila daripada membiarkan anaknya berteriak-teriak memerlukannya sepanjang waktu. Mereka berdua pasti amat menderita. Enam tahun terpuruk di sini, betapa mengerikan. Kadang-kadang nasib bisa demikian kejam pada manusia. Siapakah anak beranak yang malang itu?
Profesor Yan membimbing kami menyelusuri lorong tadi menuju sebuah pintu paling ujung. Di sana ada ruangan terpencil dan menyendiri. Beliau membuka pintu pelan-pelan. Aku gugup membayangkan pemandangan yang akan kulihat. Akankah aku kuat menyaksikan penderitaan seberat itu? Apa sebaiknya aku menunggu di luar saja? Tapi Profesor Yan telanjur membuka pintu. Engsel pintu berdecit panjang, menimbulkan rasa gamang.
Kami berdiri di ambang pintu. Ruangan itu luas, tak berjendela, dan dindingnya polos tinggi berwarna putih. Tak ada lukisan atau jambangan bunga. Begitu sepi, tak ada suara satu pun. Penerangan hanya berasal dari sebuah bohlam dengan kap rendah sehingga plafon menjadi gelap. Ruangan ini suram, penuh nuansa kepedihan dan keputusasaan. Dalam sorot lampu tak tampak perabot apa pun kecuali sebuah bangku panjang kecil nun jauh di sudut ruangan.
Dan di bangku panjang itu, kira-kira lima belas langkah dari kami, duduk berdua rapat-rapat kedua makhluk malang itu, seorang ibu dan anaknya. Gerak-gerik mereka gelisah, seperti tempat itu sangat asing dan mengancam mereka. Mereka seakan memelas, memohon agar diselamatkan. Dalam cahaya lampu yang samar tampak sang anak berpostur tinggi dan sangat kurus, rambutnya panjang dan menutupi sebagian wajahnya. Jambang, alis, dan kumisnya tebal tak teratur. Kulitnya putih. Air mukanya menimbulkan perasaan iba yang memilukan. Ia berpakaian rapi, bajunya adalah kemeja putih lengan panjang, celananya berwarna gelap, dan sepatu kulitnya bersih mengjlap. Usianya kurang lebih tiga puluhan. Ia ketakutan. Sorot matanya yang teduh melirik ke kiri dan ke kanan. Ia gugup dan sering menarik napas panjang. Ibunya kelihatan puluhan tahun lebih tua dari usia sesungguhnya. Pancaran matanya menyimpan kesakitan yang parah dan caranya menatap menjalarkan rasa pedih yang dalam. Lingkaran di sekeliling matanya berwarna hitam dan ia amatlah kurus. Daya hidup telah padam dalam dirinya. Ia memakai sandal jepit yang kebesaran dan tampak menyedihkan. Wajahnya jelas memperlihatkan kerisauan yang amat sangat dan tekanan jiwa yang tak tertahankan.
Mereka berdua melihat kami sepintas-sepintas tapi kebanyakan menunduk. Sang anak mengapit lengan ibunya. Ketika kami masuk, ia semakin merapatkan dirinya pada ibunya. Aku tak sanggup menanggungkan pemandangan memilukan ini. Tanpa kusadari air mataku mengalir. Eryn pun ingin menangis tapi ia berupaya keras menjaga sikap profesional sebagai seorang peneliti. Aku tak tahan melihat anak beranak dengan cobaan hidup seberat ini. Mereka seperti dua makhluk yang terjerat, cidera, dan tak berdaya. Aku minta diri keluar dari ruangan yang menyesakkan dada itu. Hampir selama satu setengah jam Eryn dibantu oleh profesor yang baik itu dalam melakukan semacam wawancara pendahuluan dengan kedua pasien malang itu. Dari pintu yang terbuka aku dapat melihat mereka berempat duduk di bangku tersebut. Kedua pasien itu masih terlihat gelisah.
Kemudian wawancara pun selesai dan Eryn memberi isyarat padaku untuk berpamitan pada ibu dan anak itu. Aku masuk lagi ke ruangan, mencoba tersenyum seramah mungkin walaupun hatiku hancur membayangkan penderitaan mereka. Aku menyalami keduanya. Kali ini Eryn tak sanggup menahan air matanya. Lalu pelan-pelan kami pamit keluar ruangan.
Profesor Yan dan Eryn berjalan di depanku. Mereka terlebih dahulu keluar ruangan, sementara aku yang keluar terakhir meraih gagang pintu dan menutupnya. Tepat pada saat itu aku terperanjat karena mendengar seseorang memanggil namaku.
"Ikal...," suara lirih itu berucap.
Eryn dan Profesor Yan kaget. Mereka terheran-heran, apalagi aku. Kami saling berpandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali kami bertiga dan kedua makhluk malang tadi. Dan jelas suara itu berasal dari ruangan yang baru saja kututup. Kami berbalik, tapi ragu, maka aku tak segera membuka pintu.
"Ikal...," panggilnya lagi.