Lintang juga cerdas secara experiential yang membuatnya piawai menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas. Dalam kaitan ini, ia memiliki kapasitas metadiscourse selayaknya orang-orang yang memang dilahirkan sebagai seorang genius. Artinya adalah jika dalam pelajaran biologi kami baru mempelajari fungsi-fungsi otot sebagai subkomponen yang membentuk sistem mekanik parsial sepotong kaki maka Liontang telah memahami sistem mekanika seluruh tubuh dan ia mampu menjelaskan peran sepotong kaki itu dalam keseluruhan mekanika persendian dan otototot yang terintegrasi. Kecerdasannya yang lain adalah kecerdasan linguistik. Ia mudah memahami bahasa, efektif dalam berkomunikasi, memiliki nalar verbal dan logika kualitatif. Ia juga mempunyai descriptive power, yakni suatu kemampuan menggambarkan sesuatu dan mengambil contoh yang tepat. Pengalamanku dengan pelajaran bahasa Inggris di hari-hari pertama kelas 2 SMP nanti membuktikan hal itu. Saat itu aku mendapat kritikan tajam dari ayahku karena nilai bahasa Inggris yang tak kunjung membaik. Aku pun akhirnya menghadap pemegang kunci pintu ilmu filsafat untuk mendapat satu dua resep ajaib. Aku keluhkan kesulitanku memahami tense.
“Kalau tak salah jumlahnya sampai enam belas, dan jika ia sudah berada dalam sebuah narasi aku ekhliangan jejak dalam konteks tense apa aku berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah kalimat, bingung aku menentukan tense-nya. Bahasa Inggrisku tak maju-maju.”
“Begini,” kata Lintang sabar menghadapi ketololanku. Ketika itu ia sedang memaku sandal cunghai-nya yang menganga seperti buaya lapar. Kupikir ia pasti mengira bahwa aku mengalami disorientasi waktu dan akan menjelaskan makna tense secara membosankan. Tapi petuahnya sungguh tak kuduga.
“Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru saja kita kenal tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apa pun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Navajo yang dipakai sebagai sandi tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahsa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata-kata, paham kau sampai di sini?”
Aku mengangguk, semua orang tahu itu.
Lalu ia melanjutkan, “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan, paham? Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi masalah cara berpikir.”
Sekarang mulai menarik.
“Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris, itu saja, Kal. Tak lebih dari itu!”
Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa, itulah inti paradigma belajar bahsa Inggris versi Lintang. Sebuah ide cemerlang yang hanya terpikirkan oleh orang-orang yang memahami prinsip prinsip belajar behasa. Dengan paradigma ini aku mengalami kemajuan pesat, bukan hanya karena aku dapat mempelajari bahsa Inggris dengan bantuan analogi bahasa Indonesia, tapi petuahnya mampu melenyapkan sugesti kesulitan belajar bahasa asing yang umum melanda siswa-siswa daerah. Bahwa bahasa, baik lokal maupun asing, adalah permainan kata-kata, tak lebih dari itu!
Setelah aku mampu membangun konstruksiku sendiri dalam memahami kalimat-kalimat Inggris, kemudian Lintang menunjukkan cara meningkatkan kualitas tata bahasaku dengan mengenalkan teori strktur dan aturan-aturan tense. Pendekatan ini diam-diam kami sebarkan pada seluruh teman sekelas. Dan ternyata hal ini sukses besar, sehingga dapat dikatakan Lintanglah yang telah mengakhiri masa kejahiliahan bahasa Inggris di kelas kami.