“Ceritakan lagi padaku kehebatannya yang lain,” pancing beliau memanasi Bu Mus sambil memajukan posisi duduknya, mendekatkan keminangan tempat cupu-cupu gambir dan kapur, lalu meludahkan sirih melalui jendela rumah panggung kami. Dan tak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain mendapatkan seorang murid yang pintar. Kecemerlangan Lintang membawa gairah segar di sekolah tua kami yang mulai kehabisan napas, megap-megap melawan paradigma materialisme sistem pendidikan zaman baru. Sekarang suasana belajar mengajar di sekolah kami menjadi berbeda karena kehadiran Lintang, hanya tinggal menunggu kesempatan saja baginya untuk mengharumkan nama perguruan Muhammadiyah. Lintang dengan segala daya tarik kecerdasannya daalah gemerincing tamborin yang nakal, bernada miring, dalam alunan stambul gaya lama. Dialah mantar dalam rima-rima gurindam1 yang itu-itu saja. Dia ikan lele yang menggeliat dalam timbunan lumpur berku kemarau sekolah kami yang telah bosan dihina. Tubuhnya yang kurus menjadi siku-siku yang mengeakkan kembali tiang utama perguruan Muhammadiyah yang bahkan belum tentu tahun depan mendapatkan murid baru. Dewan guru tak henti-hentinya membicarakan nilai rapor Lintang. Angka sembilan berjejer mulai dari pelajaran aqaid (akidah), Al-Qur’an, fikih, tarikh Islam, budi pekerti, kemuhammadiyahan, pendidikan kewarganegaraan, ilmu bumi, dan bahasa Inggris. Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur, aritmatika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang ke seantero kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasinya itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang dapat menaikkan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga2. Sudah demikian lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.
Nilai terendah di rapor Lintang, yaitu delapan, hanya pada mata pelajaran kesenian. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segenap daya pikir dia tak mampu mencapai angka sembilan karena tak memapu bersaing dengan seorang pria muda berpenampilan eksentrik, bertubuh ceking, dan berwajah tampan yang duduk di pojok sana sebangku dengan Trapani. Nilai sembilan untuk pelajaran kesenian selalu milik pria itu, namanya Mahar.
Bab 12
BAKAT laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayatmayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnay utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan. Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki seorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seorang tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zuybin Mehta. Namun, mereka sendiri tak pernah mengetahui hal itu. Si tukang taksir terlalu sibuk melayani orang Belitong yang kehabisan uang sehingga tak punya waktu main bola, sang penjaga wartel sepanjang hari hanya duduk memandangi struk yang menjulur-julur dari printer Epson yang bunyinya merisaukan seperti lidah wanita dalam film Perempuan Berambut Api, kondektur dan salesman setiap hari mengukur jalan, dan lingkungan si tukang nasi bebek sama sekali jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan musik klasik. Ia hanya tahu bahwa jika mendengarkan orkestra telinganya mampu melacak nada demi nada yang berdenting dari setiap instrumen dan hatinya bergetar hebat. Sayangnya sepanjang hidup-nya ia tak pernah mendapat kesempatan sekali pun memegang alat musik, dan tak juga pernah ada seorang pun yang menemukannya. Maka ketika ia mati, bakat besar gilang gemilang pun ikut terkubur bersamanya. Seperti mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya.