Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
“Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan!” ledak Bu Mus memberi semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa. Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga temantemanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami, membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatal meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher. Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembah-nyembah ke arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang terjadi berikutnya tak ‘kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerakgerak aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh rasa gatal yang luar biasa. Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi, kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain tu menggaruk hanya akan memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal. Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih.
Sebaliknya, melihat kami sangat menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.