Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf “r”, serta rindu pada caranya merapikan lipatan-lipatan lengan bajunya. Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri, dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur dan untuk itu Bu Mus adalah satusatunya peluangku. Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
“Bukankah kau paling benci tugas itu, Ikal?”
Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya. Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi semata-mata karena ada putri Gurun Gobi menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli dari uang sumbangan umat!”
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cukup duduk di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat, karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama meninggalkan kelas sekaligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan. Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipas-kipaskan di bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Aku menghampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya. Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kukukukunya saja. Hanya sampai di situ saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat? Sering telah kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya, semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil aku.
Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika tangannya menjulur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.
“Namanya A Ling ...!” bisiknya ketika kami sedang khatam AlQur’an di Masjid Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.