“Seangkatan dengan kita, di sekolah nasional!” Dan pyarrr!! Kopiah resaman Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
“Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!”
Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur’an. Sekolah nasional adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius. Sekolah nasional ...?
“Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “Bisa-bisa kau kena rajam.”
Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.
“A Ling adalah sepupu A Kiong ...!”
Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku. A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari?
Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, “Iya, betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika?”
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.
Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satusatunya peluang untuk menembus tirai keong itu. Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum2, dan kembang sepatu yang saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta. A Kiong menyimak dengan saksama ceritaku tapi ia tak bereaksi apa pun, tak ada sedikit pun perubahan air mukanya, ia tidak mengerti apa maksud pembicaraan kami. Pandangannya kosong dan bingung. Aku duga keras A Kiong tak paham sama sekali konsep cinta.
“Mudahnya begini saja, Kiong,” kataku tak sabar. “Aku akan menitipkan padamu surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya? Serahkan padanya kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau?”
Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya yang tembem jatuh berayunayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.
“Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu dengannya? Tidak masuk akal!” A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. “Hei, anak Hokian, sejak kapan cinta masuk akal?”
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater aku merenggut daun-daun Dracaena3, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.
“Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi, tak terbayangkan akibatnya!”
Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku, barangkali agak kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara radio itu Syahdan memeluk eraterat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan di sana.
Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak ‘kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata buku hitung dagangnya.
Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mudah. Sebaliknya, ia mulai merasakan kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik. Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw. Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling ketika menerima puisi dariku.
“Seperti bebek ketemu kolam,” kata A Kiong penuh godaan persahabatan. Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling: