DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi. Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasivariasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya. Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola. Para pelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat melirik kejam padanya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli. Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung Muhammadiyah. Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam. Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kami Trapani telah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skor Sahara namun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidang-bidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budi pekerti, dan sedikit bahasa Indonesia. Yang paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografl kami adalah Sahara. Maka demi kekuatan tim Trapani dengan lapang dada memberi kesempatan pada Sahara untuk tampil. Trapani adalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
"Tabahkan hatimu, Ikal ...," itulah nasihat Trapani pelan padaku. Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul selurah beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibu kota kabupaten ini, Tanjong Pandan, ia membisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.
Sahara duduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang dan Sahara sudah tak bisa diharapkan.