Читаем Laskar Pelangi полностью

"Seratusssss!" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adikadik Lintang berasaha berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh. berkaca-kaca. Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disediakan panitia. Beberapa di antaranya membanting pensil tanpa ampun. Trapani yang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh ke sana kemari. "Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...," itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dari bibirnya bergumam, "Subhanallah, subhanallah ...." Ibu jas merah muda berupaya keras menenangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan pertanyaan.

"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga...." Kring! Kriiiiiiiingggg!

Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.

"Thermoluminescent dating! Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!"

"Seratussss!"

Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sama dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain. Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak. Yang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.

Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang: "Vincent Van Gogh, menyasszonytanc, The Hunchback of Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dactylorhiza moculata, ancyostoma duodenale, Stone Henge, Platyhelminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fluoxetine hydmchloride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chiral..."

Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir. Para peserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu menginterpretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang mengagumkan untuk menebak isi kepala orang. Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:

"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung ...."

Kriiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.

"Cincin Newton!"

"Seratussss!"

Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton menyela, "Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban itu keliru besar!"

Перейти на страницу:

Все книги серии Laskar Pelangi

Похожие книги

Вдребезги
Вдребезги

Первая часть дилогии «Вдребезги» Макса Фалька.От матери Майклу досталось мятежное ирландское сердце, от отца – немецкая педантичность. Ему всего двадцать, и у него есть мечта: вырваться из своей нищей жизни, чтобы стать каскадером. Но пока он вынужден работать в отцовской автомастерской, чтобы накопить денег.Случайное знакомство с Джеймсом позволяет Майклу наяву увидеть тот мир, в который он стремится, – мир роскоши и богатства. Джеймс обладает всем тем, чего лишен Майкл: он красив, богат, эрудирован, учится в престижном колледже.Начав знакомство с драки из-за девушки, они становятся приятелями. Общение перерастает в дружбу.Но дорога к мечте непредсказуема: смогут ли они избежать катастрофы?«Остро, как стекло. Натянуто, как струна. Эмоциональная история о безумной любви, которую вы не сможете забыть никогда!» – Полина, @polinaplutakhina

Максим Фальк

Современная русская и зарубежная проза
Последний
Последний

Молодая студентка Ривер Уиллоу приезжает на Рождество повидаться с семьей в родной город Лоренс, штат Канзас. По дороге к дому она оказывается свидетельницей аварии: незнакомого ей мужчину сбивает автомобиль, едва не задев при этом ее саму. Оправившись от испуга, девушка подоспевает к пострадавшему в надежде помочь ему дождаться скорой помощи. В суматохе Ривер не успевает понять, что произошло, однако после этой встрече на ее руке остается странный след: два прокола, напоминающие змеиный укус. В попытке разобраться в происходящем Ривер обращается к своему давнему школьному другу и постепенно понимает, что волею случая оказывается втянута в давнее противостояние, длящееся уже более сотни лет…

Алексей Кумелев , Алла Гореликова , Игорь Байкалов , Катя Дорохова , Эрика Стим

Фантастика / Современная русская и зарубежная проза / Постапокалипсис / Социально-психологическая фантастика / Разное