NILAI-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff1, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memiiih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya. Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia gaib perdukunan.
Sebuah cara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya. Mahar dan FIo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas nilai-nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi. Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.
Setelah menemukan rencana solusi yang sangat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan kekagumannya pada kreativitas Mahar dalam memecahkan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusias ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu, namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal. Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal. Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio transistor dua band merk Philip, si pengangguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ tunggal menggadaikan electone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang — dan menimbulkan keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah oleh Tuan Pos.
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerincingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan.