"Namun tak lama kemudian, antara tidur dan terjaga, aku mendengar suara gemerisik seperti jutaan semut mendekatiku, dan agaknya ribuan simbol-simbol samar itu menjadi hidup lalu memberiku semacam mimpi, semacam wangsit, semacam gambaran masa depan... semua ini tak pernah kuceritakan pada siapa pun!" Kami semakin merapat, sangat penasaran.
"Apakah wangsit itu saudaraku Mahar??!!" A Kiong berteriak tak sabar menunggu terkuaknya sebuah misteri besar. Ia sedikit merayu. Suaranya tercekat dan bergetar. Bahkan Flo tampak tegang. Rupanya ia sendiri belum pernah mendengar wangsit ini. Mahar menarik napas panjang sekali, agaknya ia merasa berat membocorkan kisah ini. "Begini ...," katanya serius.
"Mimpi itu memperlihatkan bahwa sebuah kekuatan besar di Pulau Belitong akan segera runtuh. Orang-orang Melayu Belitong akan jatuh melarat dan kembali berperikehidupan seperti zaman purba dulu, yaitu bernafkah secara bersahaja dari hasil-hasil laut dan hutan. Sebaliknya, dunia luar akan maju demikian pesat. Penggunaan komputer akan merasuki seluruh segi kehidupan. Penggunaan komputer yang merajalela itu menyebabkan praktikpraktik akuntansi tak lama lagi akan punah ...."
Bab 29
SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaannya, dan tenteram dalam kemiskinannya.
Namun kali ini berbeda, mendung tebal bergelayut rendah siap menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.
Seiring dengan euforia organisasi rahasia Societeit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang — terjun bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong itu.
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di sekolah PN agar dapat mendekati Flo.
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menonton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel tembak.
"Nama saya Flo, Floriana," kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah. dan sekolah Muhammadiyah ...." Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi.