"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililit-lilitkan. Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya."
Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada superstar dunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya. Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.
"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata." Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.
"Kami menceritakan maksud kedatangan karni. Beliau mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas inilah beliau menulis."
Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana tertulis:
INILAH PESAN TUK BAYAN TULA:JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DIDEKAT GUBUK LADANG YANG DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU
Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam — atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satu-satunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya terlambat?