Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini — kriminal dari kaca-mata PN Timah tentu saja — telah ada sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad ke-17. PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak pidana subversif. Di gununggunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah. Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang — terutama yang dekat sungai — telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satu-nya megafon yang dibekali posko telah habis baterainya. Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, semangat kami pun melemah. Kami mulai dihinggapi perasaan putus asa.
Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar — kalau bukan disebut hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang melecehkan Tuk gayan Tula.
"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susahsusah kita mencari-cari seperti ini," desah Kucai sambil terengahengah. Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah.
Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?
Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke lembah. melainkan naik terus ke puneak, atau berjalan berputar-putar niengelilingi lereng, tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.
Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekalan air dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan. Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami — kecuali Mahar — datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.
Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami berkumpul di sana unluk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat penjuru angin.