Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu, Banyak yang mengatakan para perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana. Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri. Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar seorang eksentrik yang dianugerahi indra keenam.
Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri karena bermasalah dengan perangkat syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika, paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.
Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orangorang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah maiam dan Flo tak juga diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oieh sang manusia siluman setengah peri. Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan,
"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis beterbangan," kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.
"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahu-perahu perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa." Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, "Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu tinggi. Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami merasakan udara yang penuh daya magis."
Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.