"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadiyah ini atau dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?" Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk mengingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting. Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik. Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram dan ingin meinbantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orangorang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata untuk membantah. Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru?
Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki pengetahuan setengah-setengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri. Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan mengatakan, "Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini
...." Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan yang sakti mandraguna andalan kami ini. Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat merendah.
"Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana."
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, "Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu." Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!" Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat bicara.
“Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang keliru ...."
Pak Zulfikar tak terima.
"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!"
Lintang tak sabar.
"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan remehtemeh." Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.