Tuhanku! Kami terperangah dan Bu Mus terkejut. Prolog semacam ini tak pernah kami lakukan, dan tema lagu pilihan Mahar sangat tak biasa. Lagu kami hanya tiga macam yaitu: lagu nasional, lagu kasidah, dan lagu anak-anak. Lagu apakah gerangan yang akan dibawakan anak muda berwajah manis ini? Kini kami semua memandanginya dengan heran, Sahara melepaskan kruistiknya. Belum sempat kami mencerna ia menyambung kalem dengan gaya seperti seorang bijak berpetuah.
"Lagu ini bercerita tentang seseorang yang patah hati karena kekasih yang sangat ia cintai direbut oleh teman baiknya sendiri ...." Mahar tercenung syahdu, tatapan matanya kosong jauh melintasi jendela, jauh melintasi awan-awan berarakan, hidup memang kejam ....
Bu Mus termenung ragu-ragu. Beliau menatap Mahar sambil tersenyum penuh tanda tanya. Hati kami juga penasaran. Lalu Bu Mus mengambil sebuah keputusan yang puitis.
"Jalan ke ladang berliku-liku, jangan lewat hutan cemara, segera nyanyikan lagumu, biar kutahu engkau merana ...." Mahar tersenyum dalam duka.
"Terima kasih Ibunda Guru."
Mahar bersiap-siap, kami menunggu penuh keingintahuan, dan kami semakin takjub ketika ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat musik: ukulele!
Suasana jadi hening dan kemudian perlahan-lahan Mahar memulai intro lagunya dengan memainkan melodi ukulele yang mendayu-dayu, ukulele itu dipeluknya dengan sendu, matanya terpejam, dan wajahnya syahdu penuh kesedihan yang mengharu biru, pias menahankan rasa. Jiwanya seolah terbang tak berada di tempat itu. Lalu dengan interlude yang halus meluncurlah syair-syair lagu menakjubkan dalam tempo pelan penuh nuansa duka yang dinyanyikan dengan keindahan andante maestoso yang tak terlukiskan kata-kata
Seketika kami tersentak dalam pesona, itulah lagu Tennesse Waltz yang sangat terkenal karya Anne Murray, dan lagu itu dibawakan Mahar dengan teknik menyanyi seindah Patti Page yang melambungkan lagu lama itu. Ritme ukulele mengiringi vibrasi sempurna suaranya disertai sebuah penghayatan yang luar biasa sehingga ia tampak demikian menderita karena kehilangan seorang kekasih. Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kupu-kupu
cantik thistle crescent, lalu terbang hanyut dibawa awan-awan tipis menuju ke utara. Suara Mahar terdengar pilu merasuki relung hati setiap orang yang ada di ruangan. Intonasinya lembut membelaibelai kalbu dan Mahar memaku hati kami dalam rasa pukau menyaksikannya menyanyi sambil menitikkan air mata. Apa pun yang sedang kami kerjakan terhenti karena kami telah terkesima. Kami tersihir oleh aura seni yang terpancar dari sosok anak muda tampan yang menyanyi dari jiwanya, bukan hanya dari mulutnya, sehingga lagu itu menjadi sebuah simfoni yang agung. Kami terbawa suasana melankolis karena Mahar benar-benar mengembuskan napas lagu itu. Rasa kantuk, lapar, dan dahaga menjadi tak terasa. Bahkan kumbang-kumbarrg dan kawanan burung prenjak sayap garis menjadi senyap, berhenti menjerit-jerit demi mendengar lantunannya. Suhu udara yang panas perlahan-lahan menjadi sejuk menghanyutkan. Ketika Mahar bernyanyi seluruh alam diam menyimak. Kami merasakan sesuatu tergerak di dalam hati bukan karena Mahar bernyanyi dengan tempo yang tepat, teknik vokal yang baik, nada yang pas, interpretasi yang benar, atau chord ukulele yang sesuai, tapi karena ketika ia menyanyikan Tennesse Waltz kami ikut merasakan kepedihan yang mendalam seperti kami sendiri telah kehilangan kekasih yang paling dicintai. Kemampuan menggerakkan inilah barangkali yang dimaksud dengan bakat. Siang itu, ketika sedang menunggu azan zuhur, ternyata seorang seniman besar telah lahir di sekolah gudang kopra perguruan Muhammadiyah. Mahar mengakhiri lagunya secara fade out disertai linangan air mata.
“...I lost my litle darling the night they were playing the beautiful Tennesse waltz..."
Dan kami serentak berdiri memberi standing applause yang sangat panjang untuknya, lima menit! Bu Mus berusaha keras menyembunyikan air mata yang menggenang berkilauan di pelupuk mata sabarnya.
Tak dinyana, beberapa menit yang lalu, ketika Bu Mus menunjuk Mahar secara acak untuk menyanyi, saat itulah nasib menyapanya. Itulah momen nasib yang sedang bertindak selaku pemandu bakat. Siang ini, komidi putar Mahar mulai menggelinding dalam velositas yang bereskalasi.
Bab 13