Читаем Laskar Pelangi полностью

Tapi ia juga sama sekali tidak tahu konsep harmonisasi sehingga ia menjadikan lagu itu seperti sebuah lagu lain yang belum pernah kami kenal. Ia mengkhianati C. Simanjuntak. Maka sebelum bait pertama selesai, Bu Mus segera menyuruhnya kembali ke tempat duduk. Samson membatu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, ia terheran-heran.

“Mengapa aku dihentikan, Ibunda Guru…?”

Inilah yang dimaksud dengan tak punya bakat dan tak tahu diri. Maka seni suara adalah mata pelajaran yang paling tidak prospektif di kelas kami. Oleh karena itu, ia ditempatkan di bagian akhir paling siang. Fungsinya hanya untuk menunggu waktu Zuhur, yaitu saatnya kami pulang, atua untuk sekadar hiburan bagi Bu Mus karena dengan menyuruh kami bernyanyi beliau bisa menertawakan kami. Pada umumnya kami memang tak bisa menyanyi. Bahkan Lintang hanya bisa menampilkan dua buah lagu, yaitu Padamu Negeri dan Topi Saya Bundar. Lagu tentang topi ini adalah lagu super ringkas dengan bait yang dibalik-balik. Lintang menyanyikannya dengan tergesa-gesa sehingga seperti rapalan agar tugas itu cepat selesai.

Adapun Trapani, sejak kelas satu SD tak pernah menyanyikan lagu lain selain lagu Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Sahar menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa dengan gaya seperti seriosa yang menurut dia sangat bagus padahal sumbangnya minta ampun. Sedangkan Kucai — juga dari kelas satu SD — hanya menampilkan dua buah lagu yang sama, kalau tidak lagu Rukun Islam ia akan menyanyikan lagu Rukun Iman.

“Masih ada lima menit sebelum azan zuhur. Ah, masih bisa satu lagu lagi,” kata Bu Mus sambil tersenyum simpul. Kami memandang beliau dengan benci.

“Ibunda, kenapa tak pulang saja!”

Kami sudah mengantuk, lelah, lapar, dan haus. Siang ini panas sekali. Burung-burung prenjak sayap garis1 semakin banyak dan tak

mau kalah dengan kumbang-kumbang betina pantat kuning. Kadang-kadang mereka hinggap di jendela kelas sambil menjerit sejadi-jadinya, menimbulkan suara bising yang memusingkan bagi perut-perut yang keroncongan.


“Nah, sekarang giliran….” Bu Mus memandangi kami satu per satu untuk menjatuhkan pilihan secara acak… dan kali ini pandangannya berhenti pada Mahar.

“Ya, Mahar, silakan ke depan anakku, nyanyikan sebuah lagu sambil kita menunggu azan zuhur.”

Bu Mus terus tersenyum mengantisipasi kekonyolan apa lagi yang akan ditampilkan muridnya. Sebelumnya kami tak pernah mendengar Mahar bernyanyi, karena setiap kali tiba gilirannya, azan zuhur telanjur berkumandang sehingga ia tak pernah mendapat kesempatan tampil. Kami tidak peduli ketika Mahar beranjak. Ia menyandang tasnya, sebuah karung kecampang, karena ia juga sudah bersiap-siap akan pulang. Kami sibuk sendiri-sendiri. Sahara sama sekali tak memalingkan wajah dari kruistiknya, Lintang terus menghitung, Samson masih menggambar, dan yang lain asyik berdiskusi. Mahar melangkah ke depan dengan tenang, anggun, tak tergesa-gesa. Di depan kelas ia tak langsung menyanyikan lagu pilihannya, tapi menatap kami satu per satu. Kami terheran-heran melihat tingkahnya yang ganjil, namun tatapannya penuh arti, seperti sebuah tatapan kerinduan dari seorang penyanyi pop gaek yang melakukan konser khusus untuk para ibu-ibu single parent, dan kaum panjang lentik seperti murai batu. Paruhnya tipis dan agak melengkung. Habitat burung ini adalah di tempat terbuka seperti padang ilalang.

Ibu ini adalah para penggemar setia yang sudah amat lama tak bersua dengan sang artis nostalgia. Setelah memandangi kami cukup lama, ia memalingkan wajahnya ke arah Bu Mus sambil tersenyum kecil dan menunduk, layaknya peserta lomba bintang radio yang memberi hormat kepada dewan juri. Mahar merapatkan kedua tangannya di dadanya seperti seniman India, seperti orang memohon doa. Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulangulang. Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras, dan hidup tanpa pilihan. Ia membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan.


Bu Mus membalas hormat takzimnya yang santun dengan tersenyum ganjil. “Anak muda ini pasti tak pandai melantun tapi jelas ia menghargai seni," mungkin demikian yang ada dalam hati Bu Mus. Tapi tetap saja beliau menahan tawa. Lalu Mahar mengucapkan semacam prolog.

“Aku akan membawakan sebuah lagu tentang cinta Ibunda Guru, cinta yang teraniaya lebih tepatnya ...."

Перейти на страницу:

Все книги серии Laskar Pelangi

Похожие книги

Вдребезги
Вдребезги

Первая часть дилогии «Вдребезги» Макса Фалька.От матери Майклу досталось мятежное ирландское сердце, от отца – немецкая педантичность. Ему всего двадцать, и у него есть мечта: вырваться из своей нищей жизни, чтобы стать каскадером. Но пока он вынужден работать в отцовской автомастерской, чтобы накопить денег.Случайное знакомство с Джеймсом позволяет Майклу наяву увидеть тот мир, в который он стремится, – мир роскоши и богатства. Джеймс обладает всем тем, чего лишен Майкл: он красив, богат, эрудирован, учится в престижном колледже.Начав знакомство с драки из-за девушки, они становятся приятелями. Общение перерастает в дружбу.Но дорога к мечте непредсказуема: смогут ли они избежать катастрофы?«Остро, как стекло. Натянуто, как струна. Эмоциональная история о безумной любви, которую вы не сможете забыть никогда!» – Полина, @polinaplutakhina

Максим Фальк

Современная русская и зарубежная проза
Последний
Последний

Молодая студентка Ривер Уиллоу приезжает на Рождество повидаться с семьей в родной город Лоренс, штат Канзас. По дороге к дому она оказывается свидетельницей аварии: незнакомого ей мужчину сбивает автомобиль, едва не задев при этом ее саму. Оправившись от испуга, девушка подоспевает к пострадавшему в надежде помочь ему дождаться скорой помощи. В суматохе Ривер не успевает понять, что произошло, однако после этой встрече на ее руке остается странный след: два прокола, напоминающие змеиный укус. В попытке разобраться в происходящем Ривер обращается к своему давнему школьному другу и постепенно понимает, что волею случая оказывается втянута в давнее противостояние, длящееся уже более сотни лет…

Алексей Кумелев , Алла Гореликова , Игорь Байкалов , Катя Дорохова , Эрика Стим

Фантастика / Современная русская и зарубежная проза / Постапокалипсис / Социально-психологическая фантастика / Разное