A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir. Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.
Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian melayap mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah-darah tiada daya mana kala ia sirna terbang mencampak asmara. Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah. tempo hari, saat itu kebahagiaanku tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita, kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku!
Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi. Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kiong-lah yang datang menjengukku. Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan A Kiong tergopoh-gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli bekas peneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar seperti seorang pejabat penting kabupaten.
Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir. Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter profesional dan seolah dalam waktu singkat teiah menyelesaikan diagnosisnya. Ia menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong.
"Pisau!" pekiknya singkat.
A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah.
"Kunir!" perintah Mahar lagi, tegas dan keras. A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu, seperti telah sama-sama paham prosedur berikut-nya tanpa dikomando, A Kiong mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar-namparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit. Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daundaun beluntas dengan beringas, A Kiong serta-merta menyemburnyemburkan air ke selurah tubuhku — termasuk wajah — melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan. Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis.
Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total.