Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele Yeoh-ku?
"Apa yang terjadi?" Syahdan mendekatiku. "Ikal, tangan siapa seperti pentungan satpam itu?"
Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik.
Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi gelang tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang terkendali.
Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu. Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir. Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan, memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kembali ke dalam sarangnya. Syahdan mendekatiku yang berdiri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. A Miauw yang dari tadi memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik napas panjang dan mengatur dengan hati-hati apa yang ingin diucapkannya.
“A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik Pesawat pukui 9. Ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana ...." Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh.
"Kalau ada nasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi." A Miauw menepuk-nepuk pundakku.
Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi.
"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini...." A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa indah ini.
Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan dan mengajaknya pulang.
Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan.
Pukul 9.05.
Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan aku sendiri. Aku mengamati pesawat yang pergi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air mata tergenang di pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.
Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tiba-tiba aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya aku satu-satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilahbilah seng yang berjatuhan di kesunyian malam. Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku.