Pria pemegang kunci kluis itu merupakan orang terpilih dan Tuhan diam-diam telah menciptakan untuknya sebuah pekerjaan yang bukan hanya bergaji rendah tapi juga unik dan bisa memacu otak sekaligus jantungnya. kepada pemangku pekerjaan inilah seharusnya kita, khususnya kami, orang-orang Melayu Beiitong, menghaturkan terima kasih yang tak terperikan. Meskipun The Beatles telah menunjukkan sedikit respek kepadanya dengan menulis lagu Mr. Postman, tapi masih jarang sekali pujangga-pujangga Melayu yang tersohor merangkai gurindam, mengarang puisi, atau sekadar menulis cerpen tentang kiprahnya. Pekerjaan kuncen kluis yang memacu otak dan jantung kumaksud di atas adalah pekerjaan Pak Pos yang sekaligus menjadi kepala kantor pos di kecamatan-kecamatan. Dalam susunan organisasi, mereka menamainya Pengurus Kantor Pos Pembantu, tapi di kampung kami beliau disebut Tuan Pos. Beliaulah yang memungkinkan kami berkomunikasi dengan budaya luar melalui benda keramat berwarna-warni, yaitu perangko-perangko itu, dan beliau pula yang menyampaikan koran-koran terlambat sebulan dari Jakarta sehingga kami tahu rupa kepala suku republik ini. Pada suatu kurun waktu pernah angin barat berkepanjangan berembus demikian kencang, akibatnya kapal-kapal harus memilih muatan secara selektif dan orang-orang Beiitong juga terpaksa memilih: mau makan beras atau makan kertas?
Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran-koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang sama.
Than Pos memacu otak karena ia menguras pikirannya untuk membuat perencanaan cash flow dan benda pos guna keperluan bulan depan. Ia harus memperkirakan berapa orang yang akan menarik tabanas, menguangkan wesel menerima pensiun, dan mengirim surat, kartu, dan paket. Lalu setelah sepanjang hari melayani pelanggan di loket, menjelang sore Tuan Pos mengeluarkan sepeda untuk berkeliling kampung mengantar surat, ia pun memacu jantungnya. Tuan Pos kami adalah tuan sekaligus anak buah bagi dirinya sendiri karena semua pekerjaan ia kerjakan sendiri. Beliau bekerja sejak subuh: memasak sagu untuk lem, mengangkat karung paket, menjual perangko, menerima dan membayar tabanas dan wesel, mencap surat. Kadang-kadang beliau membantu pelanggan menulis dan malah membacakan surat cinta untuk para kekasih yang buta huruf. Ketika BUMN yang sok progresif sekarang ribut soal Good Corporate Citizenship, Tuan Pos kami telah jauh-jauh hari mempraktikkannya. Beliau menyortir surat sejak subuh dan mengantarnya di bawah hujan dan panas. Sudah begitu tak jarang pula beliau menerima keluhan yang pedas dari pelanggan. Sekilas dalam hati aku berdoa:
"Ya, Allah, cita-citaku adalah menjadi seorang penulis atau pemain bulu tangkis, tapi jika gagal jadikan aku apa saja kalau besar nanti, asal jangan jadikan aku pegawai pos. Dan jangan beri aku pekerjaan sejak subuh."
"APA anak-anak muda di kelas ini sudah boleh menerima surat cinta, Ibunda Guru?" Itulah kata-kata dari sepotong kepala yang melongok dari balik daun pintu kelas kanii. Bu Mus tersenyum ramah pada Tuan Pos yang tiba-tiba muncul. Beliau biasa menerima kiriman majalah syiar Islam Panji Masyarakat dari sebuah kantor Muhammadiyah di Jawa Tengah. Tapi kali ini Tuan Pos membawa surat untukku.
Istimewa sekali! Inilah surat pertama yang kuterima dari Perum Pos. Dulu aku sering mengantar nenekku ke kantor pos untuk mengambil pensiun. Tapi secara pribadi, baru kali ini aku menerima layanan dari perusahaan umum yang sangat bersahaja ini, sahabat orang kecil, pos giro. Aku bangga dan sekilas merasa menjadi orang yang agak sedikit penting.
Apakah surat ini dari redaksi majalah Kawanku atau Hai untuk puisi-puisi yang tak pernah kukirimkan? Tentu saja tak mungkin. Surat ini dialamatkan ke sekolah, tak ada nama dan alamat pengirimnya, sampulnya biru muda. indah, dan harum pula baunya. Apakah salah alamat? Mungkin untuk Samson atau Sahara dari sahabat pena mereka di Kuala Tungkal, Sungai Penuh, Lubuk Sikaping, atau Gunung Sitoli. Mengapa para abat pena selalu berasal dari tempat-tempat yang namanya aneh? Atau mungkin untuk Trapani yang tampan dari seorang pengagum rahasia?
Pak Pos tersenyum menggoda. Beiiau mengeluarka form x13. Tanda terima kiriman penting.
"Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tanda tangan di sini, tak 'kan kuhabiskan waktuku di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah ...," Pak Pos belum puas dengan godaannya.
'Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota! Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?"