Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur. Jika memasuki kampung kami dari arah utara maka harus melewati bahu kiri gunung ini. Dari kejauhan, gunung ini tampak seperti perahu yang terbaiik, kukuh, biru, dan samar-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyu suri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumah-rumah penduduk Selinsing dan Selumar. Mereka memagari pekarangannya dengan bambu tali2 yang ditanam rapat-rapat dan dipangkas rendahrendah. Kampung kembar ini dipisahkan oleh sebuah lembah yang digenangi air yang tenang. Danau Merantik, demikian namanya. Jika mengendarai sepeda maka stamina tubuh akan diuji oleh sebuah tanjakan pendek namun curam menjelang Desa Selinsing. Pemuda-pemuda Melayu yang berusaha membuat kekasihnya terkesan tak 'kan membiarkannya turun dari sepeda. Mereka nekat mengayuh sampai ke puncak, mengerahkan segenap tenaga, tertatihtatih sehingga sepeda tak lurus lagi jalannya. Setelah tanjakan Selinsing ini ditaklukkan maka sepeda akan menukik turun. Sang pemuda akan tersenyum puas, meminta kekasihnya memeluk pinggangnya erat-erat dan meyakinkannya bahwa ia kurang lebih tidak akan terlalu memalukan nanti kalau dijadikan suami.
Pada tukikan ini sepeda akan meluncur turun dengan deras, menikung sedikit, sebanyak dua kali, menelusuri lembah Danau Merantik, lalu disambut lagi oleh tanjakan kampung Selumar. Keka-sih mana pun akan maklum kalau diminta turun, karena tanjakan Selumar meskipun tak securam tanjakan Selinsing namun jarak tanjaknya sangat panjang. Baru seperempat saja menempuh tanjakan Selumar maka sepeda yang dituntun akan terasa berat. Pagar bambu tali yang dibentuk laksana anak-anak tangga tampak berbayang-bayang karena mata berkunang-kunang akibat kelelahan. Semakin ke puncak langkah semakin berat seperti dibebani batu. Keringat bercucuran mengalir
deras melalui celah-celah leher baju, daun telinga, dan mata, sampai membasahi celana. Tapi saat mencapai puncaknya, yaitu puncak bahu kiri Gunung Selumar, semua kelelahan itu akan terbayar. Di hadapan mata terhampar luas Belitong Timur yang indah, dibatasi pesisir pantai yang panjang membiru, dinaungi awan-awan putih yang mengapung rendah, dan barisan rapi pohon-pobon cemara angin. Dari puncak bahu ini tampak rumah-ramah penduduk teruraiurai mengikuti pola anak-anak Sungai Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. Kelompok rumah ini tak lagi dipagari oleh bambu tali namun berselang-seling di antara padang ilalang liar tak bertuan. Semakin jauh, jalur pemukiman penduduk semakin menyebar membentuk dua arah. Pemukiman yang berbelok ke arah barat daya terlihat sayupsayup mengikuti alur jalan raya satu-satunya menuju Tanjong Pandan. Dan yang terdesak terus ke utara terputus oleh aliran sebuah sungai lebar bergelombang yang tersambung ke laut lepas–Sungai Lenggang yang melegenda. Di seberang Sungai Lenggang rumah-rumah penduduk semakin rapat mengitari pasar tua kami yang kusam. Jangan terburu-buru menuruni lembah. Berhentilah untuk beristirahat. Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gunung, lembah, sungai, dan laut. Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian. Dinamakan bunga hati karena daunnya berbentuk hati.
Aku sendiri tak pasti, apakah aroma harum alami yang melapangkan dada itu berasal dari andraeanum sendiri atau dari simbiosisnya, sebangsa fungsi Clitocybe gibba yaitu jamur daun tak bertangkai yang rajin merambati akar-akar familia keladi itu. Jamur ini bersemi dalam suhu yang semakin lembab saat memasuki musim angin barat pada bulan-bulan yang berakhiran –ber. Bentuknya tegap, rendah, dan gemuk-gemuk. Kami sudah sangat sering piknik ke Gunung Selumar dan agak sedikit bosan dengan sensasinya. Biasanya kami tidak sampai ke puncak, sudah cukup puas dengan pemandangan dari 75% ketinggiannya. Lagi pula komposisi batu granit di atas lereng gunung ini membuat jalur pendakian ke puncak menjadi licin. Namun, kali ini aku amat bergairah dan bertekad untuk mendaki sampai ke puncak. Laskar Pelangi menyambut baik semangatku. Belum apa-apa mereka telah sibuk bercerita tentang pemandangan hebat yang akan kami saksikan nanti dari puncak, yaitu seluruh jembatan di kampung kami, kapal-kapal ikan, dan tongkang pasir gelas yang bersandar di dermaga.